Tidak ada nada pada tiap syair dalam tiap baitnya, aku memang tidak bernada. Apalagi tiap kata yang aku rangkai sangatlah sederhana. Sesederhana aku mencintaimu, tanpa kamu tahu, tanpa harus kamu tahu, atau harus tercerna secara langsung untuk bukti nyata. Tidak mudah bagiku menyatu dengan keadaan yang kamu mau, atau harus menjadi nada pada piano kesayanganmu itu. Dan nyata aku hanya jadi benda asing yang berada di sudut ruang hatimu, yang tidak pernah kamu sapa apalagi bercerita.
Februari yang indah dengan beberapa rintik hujan yang menemani langkahku menuju tempat belajarku. “Pagi Rara..” sapa mereka yang sudah hampir 3 tahun ini menjadi teman paling mengerti sikap dan sifatku. “pagi juga..” senyumku mengembang, tapi seketika itu senyumku hilang, ketika melihat di papan absensi kelas kalau Agi Satya Dhama tidak masuk hari ini. “Agi sakit, Ra.. tadi sepupunya yang mengantar surat itu” kata Dema yang tahu perubahan ekspresi pada wajahku itu. Aku terduduk lemas di bangku, dan berharap Agi baik-baik saja.
Dua jam pelajaran berlalu begitu terasa lambat, entah sudah berapa kali aku ditanya oleh guru “apakah Rara sakit?” aku sendiri bertanya “apakah aku sakit?”. Sungguh tidak mengenakkan sekali rasa yang hinggap di hati selama hampir 2 tahun ini.
Dan apa yang sebenarnya terjadi dengan ruang hatiku yang semakin lama semakin menjadi. Apakah harus seisi dunia ini tahu, bahwa aku jatuh cinta? Benarkah ini cinta? Sedangkan hanya aku yang merasa, lain dengan Agi. Dia mungkin tidak mencintaiku. Tidak mungkin.
Karena seseorang yang teristimewa di hatinya, bukan aku. sudah pasti.
Sekolah usai..
Gerimis di luar masih tetap setia dengan rintik pelan yang sedikit mendinginkan tubuh ini, dedaunan yang hijau terlihat lebih ceria karena tetesan hujan kecil itu, gerimis ini sungguh menyakitkan hatiku, entah apa alasan jelasnya. Langkah ku sedikit terburu-buru, aku ingin lebih cepat sampai di rumah.
Setidaknya aku bisa menenangkan pikiran khawatirku terhadap Agi dengan membuat puisi setibanya di kamar nanti. Itu caraku menenangkan hati ini, hati yang sedang tidak jelas perasaannya dan tidak tahu kapan ada kejelasan tentang semua rasa ini.
Masih, Dengan Hatiku
Gerimis pagi tadi mengiringi
Kesepian, kegelisahan, tak dapat diakhiri
Semua ruangan terasa kacau
Menjadi lamban dan menggalau
Rintik itu semakin pelan..
Waktu pun menertawakanku,
Seisi ruang membuat otakku berputar tak jelas
Beribu pertanyaan menghampiriku
Ada apa? Kenapa? Apakah? Mungkinkah?
Atau..
Aaarrrgghhh…
Ingin sekali aku berlari,
Menjerit, menangis..
Tapi aku tak punya alasan untuk keinginanku yang semakin lama semakin menggila
Tidak!
Aku tidak mau mengalah.
Atau kalah.
Aku akan tahu jika saja kamu mau tahu.
Tapi tidak untuk waktu dan keadaan ini.
Karena..
Masih, dengan hatiku..
Mencintai beberapa diammu..
Mencintai tiap syair tanpa nada untukku.
Mencintai dalam waktu yang lama pada diammu.
By. Rara Cantika
Pagi yang cerah..
Apakah aku akan cerah juga sama seperti hari ini? Rara yang ceria tidak pernah mengeluh dengan keadaan hatinya, apapun yang sedang dirasakannya itu.
Langkahku terasa lebih ringan, dengan beberapa harapan dan doa yang setiap paginya diberikan oleh Ayah dan Ibu. Mereka adalah alasanku untuk tetap bersemangat walaupun hati terasa berat merasakan kegelisahan.
Masih dengan cemas ketika berjalan di koridor kelas dan hampir sampai pada kelas XII Bahasa 2, “Pagi, Rara Cantika”, sapaan Mela sedikit mengagetkanku sesampainya aku di depan kelas. “Pagi juga Mela, yang lain pada kemana?” tanyaku yang sedikit heran dengan suasana kelas yang sepi. “Ada di ruang musik, jam pertama kita kan pelajaran musik, tahu sendiri kan kelas kita paling seneng dengan pelajaran musik, dan tahu sendiri kan kalau..” kata-kata terakhir Mela tidak ku hiraukan, langsung saja aku bawa gitar dan berlari keruang musik, aku tahu pasti Agi sudah berangkat dan sedang bermain piano.
Setibanya di ruang musik, aku terpaku dan senyumku mengembang, kegelisahanku sedikit terobati, Agi sudah sembuh, dia memainkan jari-jarinya pada piano itu.
bagaimana mungkin aku tidak mencintai diammu, sedangkan keindahan yang ada adalah kediamanmu yang berlantunkan nada-nada pemberi kedamaian. Sungguh pagi yang indah untuk hari ini, tetaplah diam dalam keindahan nada-nada itu, Agi. Dan jadilah diam dalam nada yang selalu kau lantunkan tanpa membuatku bosan. Tanpa membuatku berpaling dan mengenal nada lain, diam yang lain, atau wujud yang tidak sama denganmu. Aku mencintaimu, tapi tidak perlu kamu tahu tentang cintaku ini. “Ra, segitunya liatin Agi main piano, hahaha”, tawa Yuna membuyarkan lamunan dan percakapan hatiku, “Ah kamu Yuna, kaya tidak tahu Rara saja, dia kan suka sama Agi”, Sambung Shesa dengan polosnya. “Shesa!!” teriak Mela,Dema,dan Yuna secara serempak. “Shesa, bisa kan tidak berkata sekeras itu, kalau yang lain dengar kan bahaya”, kata Mela menasehati si manis, Shesa. “iya, iya..”, jawab Shesa dengan sedikit cemberut. Aku hanya tertawa kecil melihat tingkah teman-temanku itu. Dan berkata lirih “Terima kasih Tuhan, telah memberiku sahabat yang baik seperti mereka, terima kasih karena menciptakan mereka untuk dunia ku dalam kehidupan ini”, Dema menatapku heran, “Ra, barusan ngomong sendiri yaa?”, Aku tersenyum, “Ngomong sama Tuhan, hehe”, mereka pun ikut tertawa, tanpa peduli dengan keadaan yang lain, sampai guru musik masuk kelas.
Beberapa bulan lagi Ujian Nasional..
Ada dua sisi yang tidak mudah aku terima, ketika nanti seusai SMA ini, sudah dengan jelas dan pasti bahwa aku akan pindah ke Jakarta, dan Agi akan tetap melanjutkan kuliah di kota ini, kota yang sangat aku sukai, di sisi lain, aku senang dengan waktu yang tidak lama ini karena Agi sedikit mulai membuka kehidupannya pada ku, bukan hanya padaku saja tapi pada semua teman.
Sore ini ada pelajaran tambahan.. Aku senang, selain karena bisa mengingat pelajaran yang telah lalu, dan juga itu artinya bisa bertemu dengan Agi dua kali dalam sehari.
“Rara, kemarin aku kan tidak berangkat, boleh pinjam catatanmu?” tanya Agi ketika aku sedang duduk sendiri di taman depan kelas, aku mengangguk disertai senyum, dia pun tersenyum, senyuman yang indah di senja hari ini. Tapi tiba-tiba saja hujan deras datang, aku dan Agi pun berlari menuju kelas. “Padahal panas, tapi kok tiba-tiba hujan”, gerutuku sembari membersihkan bajuku yang sempat terkena tetesan air hujan tadi, “mungkin saja malaikat sedang berdoa”, sambung Agi dengan senyum dan menatap air hujan di luar jendela yang perlahan mulai sedikit tetesannya, “berdoa? benarkah?”, tanyaku yang tidak begitu percaya. “iya berdoa, kata bundaku begitu”, Agi tersenyum menatapku tapi kemudian menatap hujan itu kembali. “kamu suka hujan?”, tanyaku pelan. “Ya.. tentu saja, hujan itu mengajarkan kita tentang keikhlasan saat kehilangan”, katanya tanpa menoleh sedikitpun ke arahku. “kehilangan?”, tanyaku ragu. “sudahlah, lupakan saja. Ayo keluar, mungkin saja ada pelangi”, Ajak Agi sembari mengandeng tanganku, aku pun terus menatap tangan yang sedang Agi gandeng itu. Benarkah tangan itu tanganku? Sungguh seperti mimpi rasanya.
Sesampainya di luar ternyata Agi benar ada pelangi di langit, indah sekali, sebelumnya aku tidak pernah menyukai hujan, tapi karena Agi aku mulai menyukai hujan. Dan katanya malaikat sedang berdoa, entah apa yang dimaksud oleh Agi, tapi bagiku hujan dan pelangi adalah dua perbedaan yang sangat indah. Seindah pelangi senja ini. “wah pelanginya indah sekali,” seru Shesa dengan senyum manisnya itu. “ekhem! Ada yang pegangan tangan tuh, cie, cie, cie, hahaha”, teriak Yuna dengan ketawa, seketika itu yang lain pun menatap aku dan Agi dengan ketawa mereka yang berbeda-beda, Agi pun melepas genggaman tangannya “maaf Ra”, senyum Agi dan aku pun mengangguk. Malunya aku, tapi senang karena Agi sedekat itu denganku.
Dua minggu lagi hari yang dinantikan akan tiba, dimana semua hari yang dilewati selama tiga tahun ini akan menjadi saksi bisu yang terkenang pada waktu yang akan terus berjalan. Ini tidak mudah untuk dilewati jika hanya memikirkan bagaimana setelah nanti semua selesai, tapi akan mudah jika berpikiran semuanya akan indah pada waktunya.
“Semangat Rara, semangat Mela, semangat Dema, semangat Shesa, semangat Yuna, semangat semuanya, yakin bisa!!” seruku ketika sedang menikmati sunset di gedung sekolah paling atas. Mereka memelukku, dan tidak sedikit dari mereka yang mulai terisak tangisnya.
Ini bukan perpisahan, tapi perjalanan..
“Ra, nanti ketika kamu mau pindah ke Jakarta bilang-bilang dulu ya sama kami”, kata si manis, Shesa. Aku mengangguk dan tersenyum, “Ra, kalau ganti nomor handphone kami juga dikasih tahu”, kata si tomboi, Yuna. Aku mengangguk dan berkata, “aku tidak mungkin melupakan peri-peri cantik pemberi semangat hidupku”. Mereka memelukku, dan berkata dengan serempak, “Kita akan menjadi sahabat selamanya, dalam suka maupun duka, kita satu bukan aku, kita bukan hanya putih dan hitam, kita satu dunia walaupun nanti beda tempat, kita untuk selamanya”. Sudah hampir 3 tahun, kalimat panjang itu menguatkan persahabatan ini, menyatukan perbedaan yang tidak mungkin bisa menjadi persamaan.
Tiga hari lagi..
Rasanya begitu cepat perubahan pada waktu, enggan sekali pulang ke rumah kalau jam sekolah sudah usai. Sore ini tambahan pelajarannya tidak begitu melelahkan pikiran, malah Bu. Shena menyuruh kami untuk saling curhat, dan aku malah asyik bermain dengan penggaris yang aku temukan dengan cahaya matahari yang masuk melalui sela-sela jendela, dan memantul menjadi biasan sinar warna-warni seperti pelangi, indah.. dan bisa membuat Agi tersenyum ketika melihat apa yang sedang aku lakukan. Setidaknya jika memang benar ada perpisahan, aku akan mengenang Agi dengan pelangi senja ini, pelangi yang ku buat tanpa harus ada hujan, pelangi yang Agi suka walaupun tanpa hujan, “Cantik Ra”, bisik Agi pelan, “Apanya?”, tanyaku. “Pelanginya” jawab dia dengan senyum. Aku tersenyum karena senyum Agi. “coba Agi maju ke depan”, kata Bu. Shena yang sedikit mengagetkanku. Kemudian Agi pun beranjak dari tempat duduknya. “Coba ceritakan apa yang sedang kamu rasakan sekarang ini”, perintah Bu. Shena. Agi berdiri dengan sikap yang sopan dan baik, dia tersenyum pada seisi ruang kelas ini, dan kepadaku.. aku pun tersenyum sembari berkata lirih, “Kamu bisa..”, walaupun mungkin Agi tidak begitu jelas mendengar suaraku, tapi aku yakin dia tahu aku memberi semangat. “Baiklah, teman-teman.. Aku hanya ingin berbagi sedikit mengenai aku atau yang lebih kalian kenal sebagai Agi Satya Dhama, mungkin tidak sedikit dari kalian yang tahu tentang aku, dan kebanyakan dari kalian yang tahu tentang aku adalah aku yang pendiam, suka piano dan tertutup dalam segala hal kepada siapapun, kecuali Bundaku. Sebenarnya aku bisa saja tidak diam, ada banyak hal yang membuatku lebih banyak diam disini kecuali ketika sedang presentasi pelajaran, alasanku sederhana.. ketika Ayahku masih ada, dia selalu menyuruhku untuk tidak banyak berbicara kecuali bertanya, hal itu tidak pernah aku lakukan dan terus saja berbicara tanpa henti walaupun pembicaraanku tidak penting untuk didengar, tapi ketika Ayahku tidak ada, aku baru sadar satu hal kesalahan terbesarku yang tidak menuruti perintah Ayah, padahal alasan Ayah masuk akal dengan menyuruhku tidak banyak berbicara, Beliau ingin aku mengenal nada-nada piano itu tanpa pembicaraan yang tidak jelas, “bertanya boleh, tapi berbicara tidak penting itu yang akan mengganggu”, itulah kata Ayahku yang selalu terngiang di ingatanku sampai saat ini, jadi jika Ayah kalian masih ada.. turutilah apa pintanya, karena apapun yang beliau minta adalah kebaikan untuk kita”. Kata Agi dengan senyum dan sedikit terlihat siratan di matanya kerinduan terhadap sang Ayah. Semua teman pun berdiri dan bertepuk tangan bahkan ada yang menangis.
Sabtu ini libur..
Senin besok adalah hari yang akan menjadi sejarah perjalanan terakhirku dan teman-teman di masa putih abu-abu, masa banyak rasa, masa banyak mengenal, masa cinta pertamaku.
Sudah aku siapkan mental untuk menghadapi Ujian Nasional, dengan berbekal doa kedua orangtua dan dengan kejujuran yang akan aku tinggikan, aku percaya hasilnya tidak mengecewakan.
Hari senin yang dinantikan tiba..
Rasa dag-dig-dug tidak karuan semakin menjalar saja, tapi harus tenang, supaya pikiran bisa lancar dan mengerjakan soal bisa teratasi dengan baik tanpa tergesa-gesa.
“Semangat Rara”, kata Agi dengan senyum ketika aku akan memasuki kelas,
“Semangat Agi”, kataku juga dengan senyum semangat ketika dia pun akan memasuki kelas, karena aku dan dia berbeda kelas.
Semuanya berjalan dengan lancar, aku pulang dengan senyum dan berharap apa yang aku jawab pada tiap pertanyaan soal Ujian Nasional tadi banyak yang benar.
“Ra, mau pulang bareng?”, tanya Agi ketika aku berdiri di depan gerbang sekolah sedang menunggu jemputan. “Apa tidak merepotkan, rumahmu kan berlawanan dengan rumahku?”, tanyaku berbasa-basi, padahal mau-mau saja diantar pulang oleh Agi. “tidak Ra, lagian ini masih pagi, jadi mau atau tidak?”, jawab Agi singkat. Aku pun mengangguk lalu duduk di belakang Agi, di sepeda motor ninja merahnya itu.
Sesampainya di rumah Kakak perempuanku baru saja akan menjalankan motor dan berangkat menjemputku, “eh, Ra.. kok tidak menunggu kakak saja, kan jadi merepotkan temanmu”, kata kakak Disti. “tidak merepotkan kok kak, lagian ini masih pagi”, kata Agi dengan senyum dan turun dari motornya. “mari silahkan masuk”, ajak kakak Disti.
Empat hari berlalu dengan semangat, Ujian Nasional usai. Mungkin rasaku pada Agi pun harus usai, selama ini Agi hanya menganggapku sebagai sahabatnya, dan tidak pernah lebih dari itu. Satu bulan rasanya terlalu lama untuk menunggu hasil Ujian itu, tapi tak apa aku bisa menghabiskan sisa waktuku di kota ini sebelum aku pindah ke Jakarta. Rasanya berat, tapi apa boleh buat segala urusan ku sudah disiapkan oleh Ayah dan aku hanya tinggal berangkat saja. Aku lebih senang menikmati sunset di gedung tertinggi di sekolah tercinta ini, sekolah yang mengenalkan aku pada cinta pertamaku, pada Agi Satya Dhama. “Ra, waktunya seperti berlari cepat ya.. rasanya tidak ingin ada perpisahaan yang menjadi nyata”, kata Dema dengan memandangi matahari yang akan tenggelam dengan cantik. “Iya Dem, sumpah deh demi apapun kalau bisa aku tidak mau pisah dengan kalian”, sambung Shesa. “sama”, sahut Yuna dan Mela berbarengan. “tapi perpisahan akan jadi nyata, kawan..”, kataku dengan nada sedih. Dan mereka menatapku. Lalu menatap matahari itu kembali. “kita untuk selamanya”. Kata mereka dengan semangat dan senyum dibarengi dengan airmata.
Minggu pagi yang cerah..
Tapi rasanya ada yang tidak biasa, sudah berapa hari aku tidak bertemu Agi? Mungkin ini yang namanya rindu?.
Setiap hari minggu atau hari libur, aku selalu menyempatkan untuk berolahraga di taman dekat komplek rumahku. “Ra, sudah siap bukan?”, tanya kakak Disti yang sudah siap memulai berolahraga, aku pun mengangguk dan berjalan ke arah pintu, tapi ketika aku membuka pintu di lantai ada kotak biru dengan bunga lili di atasnya, aku pun mengambilnya dan ku buka kotak itu ternyata ada gantungan buat handphone dengan bentuk piano, lalu kertas biru itu pun ku baca dengan teliti.
Dear: Rara Cantika
Pagi yang indah bukan? semoga pagimu juga Rara Cantika..
Oh ya, aku ingin mengucapkan terima kasih..
Untuk pelangi senja di kelas waktu kita sedang mengikuti tambahan pelajaran,
Karena pelangi yang kamu buat tanpa hujan itu, aku jadi berani banyak bercerita tentang diriku apa adanya..
Maaf, karena baru sekarang aku mengatakan hal ini.
Agi Satya Dhama
Aku tersipu membacanya, bukankah Agi itu orangnya angkuh dan sangat cuek.. tapi mungkin saja waktu telah mampu mendewasakan dia hingga seperti saat ini dan bersahabat baik denganku. “Dari siapa tuh, pagi-pagi begini sudah dapat bingkisan manis”, tanya kakak Disti dengan senyum-senyum. “Agi, kak..”, jawabku riang dengan menciumi bunga lili putih kesukaan ku itu, tapi.. dari mana Agi tahu kalau aku menyukai bunga lili?. “Dia menyukaimu?” tanya kakak Disti. “Entahlah.. mungkin hanya aku yang menyukai dia, lain dengan dia ke aku, sudahlah.. ayo jalan mba, keburu siang lho”. Kataku setelah meletakkan kotak biru dan bunga lili dari Agi itu di meja ruang tamu.
Satu bulan telah berlalu..
Hari ini pengumuman kelulusan, dan besoknya acara perpisahan yang diadakan sore hari.
Aku berangkat bersama Ibu, karena Ayah sedang ada urusan di luar kota. Aku percaya aku lulus, meskipun tidak yakin mendapatkan peringkat pertama. Sesampainya di sekolah aku melihat Agi sedang bersama Bundanya, dan Agi melihat kedatanganku dia melambaikan tangannya mengisyaratkan sapaan darinya aku pun membalas sapaan itu dan menuju tempat duduk di samping Agi dan Bundanya. “Pagi, bu..” sapaku pada bundanya Agi, “Pagi.. teman sekelasnya Agi ya, siapa namanya?”, tanya wanita sebaya yang masih terlihat cantik meskipun sudah memiliki anak 3. “Rara bu..” jawabku dengan senyum. “Rara Cantika?”, tanya beliau lagi dengan senyum. “iya.. ibu tahu namaku?”, tanyaku sedikit heran. “Jelas tahu, Agi sering cerita tentang kamu”, beliau memandang anak bungsunya itu dengan senyum senang, “oh.. ya?” tanyaku dengan sedikit merasa shock mengetahui pernyataan bunda Agi. “Bunda nih, malu-maluin Agi saja.” Kata Agi dengan sedikit cemberut. Dan aku masih terpaku dengan keadaan yang tiba-tiba saja membuat jantungku memompa lebih cepat.
Pembagian amplop kelulusan telah dimulai, jantungku semakin cepat saja berdetaknya, dan ibu membawa amplop itu dengan menghampiri tempat dudukku.
“Bu, bagaimana? Rara lulus kan?”, tanyaku penasaran. “Anak ibu pasti lulus, nih lihat saja.. nilaimu bagus-bagus”, kata Ibu dengan senyum dan mencium keningku. Aku pun membuka amplop putih itu dengan pelan, bukan tidak percaya dengan ibu tapi aku ingin tahu dengan meihat langsung. Dan setelah ku buka amplop putih itu, ada tulisan lulus di kertas putih itu, dan nilaiku cukup memuaskan.
Bagaimana dengan Agi, apakah dia juga sedang tersenyum melihat hasilnya? Setelah aku menengok sana sini, ternyata di seberang sana dia sedang tersenyum kemudian memeluk bundanya. Selamat Agi, setidaknya kamu telah membuat bundamu bangga terhadapmu, batinku sembari ku tersenyum.
Keesokan harinya, ketika senja hampir hadir.. sekolah mengadakan perpisahan. Tapi aku tidak menganggap ini semua sebagai perpisahan, hanya jarak tempat dan waktu saja yang akan menjadi beda untuk kedepannya. Dan kerinduan yang biasanya hanya satu hari, seminggu dan sebulan, nantinya akan menjadi bertahun-tahun.
Aku memasuki gedung teater yang luas itu, salut dengan anak-anak osis yang kreativitasnya luar biasa, gedung ini dirubah secantik mungkin. Banyak bintang-bintang di langit-langit gedung yang menambah perasaan kalutku hampir menjadi dan meneteskan airmata, belum lagi ketika aku membaca tulisan di tembok belakang panggung teater itu,
Tema acara: Masa terindah di putih abu-abu.
Aku pun duduk di bangku paling depan, tapi sedari tadi aku tidak melihat Shesa, Mela, Yuna dan Dema, kemana mereka.. atau malah belum pada datang. Rasanya malas untuk beranjak dari tempat duduk ini dan mencari mereka di antara ribuan siswa lainnya.
“Hai, sendirian Ra?”, tanya Agi yang mengagetkanku. “ehh, iya nih.. tahu pada kemana”, jawabku sembari menengok sana-sini. “mungkin mereka sedang bersiap-siap”, kata Agi dengan tersenyum senang. “bersiap-siap untuk?”, tanyaku kurang mengerti. “untuk tampil di panggung nanti”, jawab Agi. “tapi mereka..”, kata-kataku terpotong “mereka tidak memberitahukan mu? Karena selalu ada alasan baik di setiap ketidak pemberitahuan itu. Mereka ingin menampilkan sesuatu tentang kamu”, jelas Agi. Aku masih tidak mengerti, sebenarnya apa yang mereka akan tunjukan.
Acara dimulai..
Benar saja, mereka berempat ada di atas panggung sana, aku tersenyum dan tidak menyangka bahwa sahabatku ada disana sedangkan aku duduk disini, mungkin nanti akan jauh lebih terasa saat jaraknya semakin jauh.
“Ini karya kami, tapi mungkin lebih tepatnya karya sahabat kami.. Rara Cantika,” kata Yuna dengan tersenyum padaku. Mereka memutarkan film pendek tentang persahabatan yang aku buat bersama mereka, aku meneteskan airmata.. bagaimana mungkin semua ini akan menjadi perpisahan.. sedangkan mereka adalah hal paling indah yang pernah aku miliki. Dan diakhir film pendek itu kami berempat mengucapkan kalimat persahabatan “Kita akan menjadi sahabat selamanya, dalam suka maupun duka, kita satu bukan aku, kita bukan hanya putih dan hitam, kita satu dunia walaupun nanti beda tempat, kita untuk selamanya”.
Seisi ruang pun berdiri dan bertepuk tangan, aku rasa mereka menyukai film pendek itu.
Senin depan aku sudah harus berangkat ke Jakarta, terima kasih sahabatku untuk perpisahan yang manis di senja itu, terima kasih Agi karena mau bersahabat dengan ku.
“Ra, jangan lupakan kita yaa”, kata Shesa yang sudah nangis dari semaleman katanya. “Jangan lupa makannya, jaga kesehatan”, kata Yuna yang terlihat paling tegar karena sama sekali tidak menangis. “kalau kangen sama kami, jangan sungkan untuk menelfon yaa, walaupun nantinya berkali-kali tidak diangkat karena sedang asyik nonton Tv”, kata si cerewet Mela. “Dan satu lagi, jangan berlama-lama di depan laptop sampai lupa tidur”, kata Dema dengan senyum. “Terima kasih kawan.. untuk persahabatan yang indah ini”, kataku dengan mencoba tersenyum agar tidak terlihat sedih di depan mereka.
Mobil sudah siap mengantarku ke Jakarta, aku tidak bisa tidur semalaman memikirkan yang belum tentu memikirkanku juga, Agi Satya Dhama.. dia sama sekali tidak mengucapkan perpisahan padaku. Selamat tinggal sahabatku, selamat tinggal Jogja.. aku berharap Agi akan tetap sama nanti ketika aku kembali lagi ke kota ini.
Sudah setengah perjalanan aku terlelap karena saking ngantuknya dan terbangun karena handphone ku berbunyi, ada satu pesan masuk.. dari nomor baru.
Isi pesan
Dari: +6289666058547
05.05.2013
15.05
Semoga selamat sampai tujuan, Rara Cantika
Maaf, karena tidak datang pada acara di rumahmu minggu kemarin.
Aku tidak ingin mengucapkan perpisahan, karena itu hanya akan menyakitkanku.
Aku akan menemuimu, Ra.. ketika aku mendapatkan gelar master nanti, tetaplah menjadi Rara Cantika yang aku kenal
By. Agi Satya Dhama.
Aku tersenyum haru, Agi mungkin menyukaiku.. tapi hanya saja dia belum bisa menunjukkan caranya mengatakan kata cinta. Tak apa.. segini saja sudah cukup membuatku tahu, ternyata tidak sia-sia perasaanku selama 2 tahun ini. Aku pun janji akan membawa gelar master itu ketika nanti kamu menemuiku.
Cinta, ketika keyakinan hati menguatkan kedua insan yang mengagumi rasa atas nama cinta. Segalanya tak pernah memudar, bahkan membias menjadi sekumpulan warna yang unik. Meskipun berbeda cara penyampainya.. jika sama rasa pasti akan bersama. Tidak akan terganti. Tidak akan merubah, dan tetap diam pada satu cinta.
Sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-cinta/pelangi-senja-di-kelasku.html